Quarter-Life Crisis?


Entah kenapa setelah banyak kejadian baik ataupun buruk yang akhir-akhir ini terjadi membuat gw jadi berpikir tentang masalah pernikahan dan jodoh.

Awalnya mungkin karena umur yang udah 25 tahun. Usia yang katanya orang-orang udah pas untuk memulai ngebentuk keluarga sendiri, such as suami/istri/anak. Gw ga pernah ambil pusing masalah usia ideal seorang cewek harus menikah, nampaknya kuliah di jurusan psikologi dan sempet belajar tentang psikologi gender dan perempuan membuat pola pikir gw yang dibilang orang-orang jadi agak-agak liberal. Toh bukan liberal, tapi memang bagi gw sendiri nikah di usia muda, seperti temen-temen gw yang udah nikah sejak 1-2 tahun yang lalu, gw sendiri belom siap.

Lalu karena temen-temen sepantaran gw yang sebagian udah settle dengan pasangannya masing-masing, beberapa sudah menikah, bahkan udah punya anak. Setiap gw buka facebook, selalu aja ada yang update dan ngepost foto tentang proses persalinan mereka, foto pernikahan, foto pertunangan, atau foto perkembangan tentang anak-anak mereka. Bahkan pernah dalam satu minggu gw dapet 3 undangan nikah temen-temen gw. Mereka yang tumbuh terlalu cepat atau gw yang masih adem ayem saja dengan perkembangan hidup gw ini?

Ga dipungkiri, yang namanya seorang perempuan itu punya satu tujuan (atau lebih tepatnya, Impian) terbesar dalam hidup mereka selain mengejar cita-cita dan karier. Yaitu menikah dan punya keluarga sendiri. Gw sendiri pun ingin. Dan gw rasa ini bukan hanya perempuan saja yang punya impian kayak gini, temen gw yang cowok pun juga punya keinginan terbesar untuk segera menikah.

Tapi entah kenapa gw sendiri masih belum siap. Masih takut dan masih merasa bahwa diri ini belum layak memiliki dan ngurusin yang namanya "suami". Terkadang kalo gw lagi iseng menganalisa kenapa gw begini, mungkin penyebabnya adalah memang belum ketemu orang yang tepat untuk meyakinkan gw bahwa gw mampu dan bisa menjalin rumah tangga dengannya. Nobody said it was easy, tapi semua orang bilang it's worth it.

Mungkin juga gw masih takut untuk berhubungan serius dengan seorang pria dewasa. Masih "traumatis", kalo kata temen deket gw. Masih menutup hati dan masih menyangkal. Dan juga mungkin gw (secara tidak sengaja) masih menolak siapapun yang berusaha mendekati gw. Self-defense based on unconscious mind sih gw rasa. Namun ada baiknya jg gw bersikap seperti itu kan? Toh kalo memang ada seorang pria yang berhasil buat meyakinkan gw, itu berarti dia memang berusaha sungguh-sungguh untuk serius.
Kalau ngomongin peristiwa "traumatis" mungkin ga ada abisnya. Terlalu capek untuk merunut ke belakang mengenai apa-apa saja yang membuat gw masih takut untuk membuka diri. Tapi ini seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi gw, bukan kesalahan orang di masa lalu yang sudah bikin terluka.

Dan ketika kita membicarakan mengenai jodoh, gw dan temen-temen gw selalu berkhayal seperti apa pasangan kita masing-masing nanti. Seperti apa anak-anak kita jadinya?
Dan gw bahkan pernah takut membayangkan bahwa gw sudah "membuang" jodoh gw sendiri. Kayak di lagu & video clip-nya Katy Perry yang The One That Got Away.
Gw takut kalau ternyata gw sudah "melewatkan" jodoh yang dikasih oleh Tuhan ke gw karena gw terlalu sibuk sendiri dengan obsesi gw. Gw takut nantinya akan menikah dengan orang yang mencintai gw, namun gw sendiri tidak sebegitu mencintainya. Gw takut kalau suatu saat akan menikah dengan orang yang salah. Dan ujung-ujungnya akan merasakan penyesalan seumur hidup karena telah melewatkan orang yang kita cintai tanpa memperjuangkannya.

Tapi untuk sekarang aja gw ga tahu bagaimana cara memperjuangkannya kalau memang dari awal aja kita udah tahu semua ini salah dan ga boleh. Salah dan ga boleh menurut siapa? Menurut Tuhan atau manusia?
Kalau boleh minta ke Tuhan, gw ingin sekali memperjuangkannya. Memperjuangkan apa dan siapa yang ada dalam hidup gw sekarang. Jika Tuhan mengizinkan.

Kalaupun Tuhan memang tidak mengizinkan, gw yakin Tuhan punya orang-orang lain yang jauh lebih layak untuk menjadi pendamping di hidup gw. Di hidup kami.

Ah, galau usia 25 tahun ternyata begini ya. Mungkin memang lebih baik untuk sekarang gw konsen ke karier dan cita-cita saja dulu. Nanti juga akan datang saatnya lagu I Will-nya The Beatles akan berkumandang di pernikahan gw. :)

Back To Square One.

Back to square one. If you are back to square one, you have to start working on a plan from the beginning because your previous attempt failed and the progress you made is now wasted.

But, if from the very beginning you (we) realized all of these things are going to be wasted and has no happy ending, is it still count as "back to square one" or is it just another playground for us to play and take away all our dark and bitter side deep inside of us? And if the answer is the last one, let say what we've been through and left behind us is just another hallucinations? What a nice hallucinations we had. Or maybe the proper thing to say, it's a memory (ies). Plural.

Just like The Beatles song, Free As A Bird..
"What happened to the life that we once knew? Can we really live without each other? Where did we lose the touch. That seemed to mean so much. It's always made me feel.. Free as a bird..."

Oh, and maybe the right conclusion is... We just grew up and finally we learned something from what we've been through. This is the right answer, uh?

I hate growing up.

I Got No Distance Left To Run

Here comes the post when its title explains all. Here comes the cold hard truth moment. Bwah.

Karena selama ini sudah berdoa sama Tuhan untuk diberikan jawaban, dan sekarang nampaknya mata saya juga sudah dibuka agar melihat kenyataan yang sebenarnya. Bahwa kami tidak bisa. Tidak akan bisa. Akhirnya doa-doa tersebut dikabulkan (nampaknya).

Bukan hasil yang diinginkan. Namun hasil yang memang kami sudah tahu akan seperti ini (sudah tahu dari dulu). Namun kami masih tetap ndablek, hingga ujung-ujungnya sama-sama saling sakit kan..(apa hanya saya saja).

Mata kami sudah terbuka. Bahwa tidak ada apa-apa di depan sana untuk kami. Bahwa memang kami tidak ada hak untuk suatu kepemilikan satu sama lain. Bahwa percuma saja berbagi mimpi bersama. Bahwa memang kami tidak akan mengalah. Tidak ada apa-apa di depan sana untuk kita. Tidak ada dan tidak boleh.

Jadi kita menyerah saja? Sudah yah?
Jika memang ini mau Tuhan, ya sudah... Aku ikut mau-Mu saja Tuhan..